Minggu, 24 Maret 2013

Persendian Tangan Yang Terpelintir

Jiwa Sang Petualangku telah ada sejak aku masih kecil. Alam telah kuanggap sebagai teman. Semua yang baru menjadi perhatian bagiku. Memang benar aku suka hal baru. Sesuatu yang belum pernah kulihat itulah yang menarik perhatian hingga aku belajar dari sesuatu itu.


Untuk menemukan pengalaman berharga dengan sesuatu yang baru, aku suka dengan kegiatan observasi. Hingga kinipun kegiatanku masih bersentuhan dengan observasi potensi daerah. Namun perlu aku ceritakan kejadian yang sampai sekarang membekas di dalam pikiranku.

Kejadian ini bermula ketika aku bersama kakakku yang bernama Kholid dan seorang temannya yang dipanggil Puden. Aku dan Kakakku sering bermain ke kampung sebelah yang bernama Gepret. Kampung yang masuk daerah administratif Desa Durenombo ini adalah rumah Puden. Aku sering diajak kakakku bermain ke kampung itu. Kakakku suka berenang di beberapa tempat di sekitar kampung ini. Di sebuah bendungan tradisional milik warga yang dibangun untuk menyalurkan air irigasi ke sawah masyarakat. Namun kali ini kami tidak mengunjungi sungai yang biasa kami kunjungi. Kami berpergian ke Rumah Nenek di Kampung Durenombo yang merupakan pusat pemerintahan desa Durenombo.

Waktu itu adalah musim peralihan musim penghujan ke kemarau. Dimana Angin bertiup amat kencang menerpa pepohonan. Kami memanjat pohon rambutan yang besar milik Nenek. Waktu itu Nenek dan saudara yang ada di sana sedang mengantarkan adik Ibuku yang sedang berpindah rumah ke desa lain. Beberapa rambutan telah dipetik oleh kakakku, namun aku belum. Akhirnya kakakku dan Puden turun, aku sendiri sedang berusaha memetik rambutan yang pohonnya tertiup angin kencang. Tak beberapa lama kemudian aku telah mendapatkan rambutan yang cukup banyak. Dengan semangat aku turun dan teriak "aku punya kejutan", teriakan itu masih teringat hingga kini. Aku menuruni pohon dari cabang yang paling atas hingga cabang yang paling bawah. Di cabang bawah ini kejadian ini dimulai.

Cabang pohon yang besar dengan ranting yang besar juga inilah yang menjadi penyebabnya. Semestinya ranting besar yang tumbuh di cabang yang besar mampu menahan beban tubuhku yang kecil. Namun cabang itu lapuk tak mampu menahan genggamanku. Angin yang kencang menggoyahkan posisi badanku di atas sebuah cabang yang ku pijak. Aku terjatuh dengan posisi tangan kanan yang menahan badanku di atas tanah. Suara keras seperti buah durian besar yang jatuh dari ketinggian tercipta. Persendianku terpelintir karna itu. Saudaraku dari kakak kakekku melihat ke belakang rumah karna penasaran dengan suara benda jatuh dari hasil aku terjatuh. Mereka baru sadar ketika melihat aku tergeletak tak berdaya. Aku masih sadar namun aku tak bisa bernafas dan membalikkan tubuhku yang menghadap ke tanah. Tanganku tak dapat bergerak, hanya sakit yang kurasa. Kemudian mereka membawaku ke sebuah kamar. Namun mereka takut untuk memijat. Mereka kemudian membawaku pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah ternyata semuanya masih berkumpul setelah mengantar adik ibuku. Ibuku sontak memarahiku karna aku yang tak minta ijin kepadanya untuk ke kampung Durenombo. Ibuku yang barusan marah kemudian langsung membawaku ke dukun pijat bayi yang dulu memijatku saat aku masih bayi. Rasa tangan seakan terpelintir itu sangat terasa saat persendianku dibenarkan pada kondisi normal. Seminggu lamanya aku tidak masuk sekolah. Waktu itu aku masih duduk di kelas 4 dengan walikelas Ibu Suratmi. Setelah seminggu aku tak bersekolah aku memaksakan diri untuk bersekolah walaupun tangan kanan masih belum bisa digunakan. Akupun menggunakan tangan kiriku untuk segala hal termasuk menulis. Aku berhasil menyelesaikan gambar kelinci dan sekolah yang dilihat dari atas bukit dari tangan kiriku ini. Alhasil itulah karya terbaik, temanku banyak yang suka dengan gambar yang aku buat.

Sejak itu aku sadar, jika ijin itu sangat diwajibkan bagi kita seorang anak kepada ibunya. Kasih ibu itu akan selalu ada dalam keadaan apapun kita hadapi. Dan Allah selalu memberikan kemudahan di setiap kesulitan yang dihadapi makhluknya.